Kebijakan Pendidikan Pemerintah Kolonial di Indonesia

KEBIJAKAN PENDIDIKAN
PEMERINTAH KOLONIAL DI INDONESIA

Bab  I
PENDAHULUAN


Usaha penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Barat dimulai dengan jalur perdagangan, kemudian jalur militer. Peristiwa kedatangan orang Barat, pada tahun 1556 orang Belanda merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten yang dipimpin oleh Cornelis De Houtmen dan De Keyzer. Kemudian setelah Belanda menguasai Indonesia maka timbullah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dan latar belakang kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan karena politik Pemerintahan Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam didasari rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialisme.[1]
          Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
          Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.[2]

Bab II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pendidikan Islam Pada Zaman Penjajahan Kolonial
           
            Kaum kolonial Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda (antara imperialis dan kristenisasi). Sejak awal, kedatangan Belanda di Indonesia baik seabagai pedagang perorangan, kemudian diorganisasikan menjadi VOC maupun sebagai aparat pemerintah yang berkuasa dan menjajah. Oleh sebab itu kehadiran mereka selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk. Dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, maka kolonial Belanda harus bisa memahami seluk beluk penduduk tersebut untuk bisa manjadikan bumi Indonesia sebagai jajahan mereka .

            Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Bukan untuk memakmurkan bangsa yang dijajah . Begitu pula halnya pendidikan mekera telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Dan kenyataannya, Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memeras tenaga, sumber alam, dan sebagainya. Sementara dilain pihak juga diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu Belanda sebagai penjajah berbeda sekali dengan penjajah yang lain, seperti Inggris. Belanda memang tidak pemberani kalau Inggris meskipun mereka sebagai penjajah tapi tidak menyampingkan kemajuan pribumi terutama dibidang pendidikan.
           
            Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan, itu adalah westernisasi dan kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijakan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama tiga setengah abad.
KH. Syaifuddin Zuhri, menggambarkan bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam memandang orang-orang barat tersebut sebagai penakluk, penjajah dan imperialisme.
Dalam dada penjajahan tersebut begitu kuatnya ajaran dan politikus curang dan licik, seperti Machiavelli, yang antara lain menganjurkan :
  1. Agama sangat diperlukan bagi pemerintah kolonial.
  2. Agama tersebut digunakan uuntuk menjinakkan dan menaklukan rakyat.
  3. Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecahbelah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
  4. Janji dengan rakyat tidak perlu ditepati.
  5. Tujuan dapat menghalalkan segala cara .

Tentang dimulainya penjajahan Barat (Belanda) terhadap Indonesia memang terdapat silang pendapat, diantaranya:
  1. Ir. Soekarno (Proklamator Indonesia), menyatakan bahwa penjajahan Belanda, atas Indonesia dimulai sejak tahun 1596, dimana tahun tersebut dia dijadikan batas awal dalam penyusunan periodeisasi sejarah Indonesia. Dimana Indonesia dijajah Belanda selama kurang lebih tiga setengah abad (1596-1942).
  2. Pendapat yang lain beranggapan bahwa penjajahan di Indonesia secara de facto dan de jure telah dimulai sejak tanggal 1 januari 1800, yaitu sehari setelah VOC gulung tikar dan menyerehkan kekuasaan atas Indonesia kepada pemerintah Belanda di Indonesia. Yaitu pada tanggal 31 desember 1799
-        Periodisasi Sejarah Pendidikan di Indonesia [3]
Periodisasi yang digunakan merupakan hasil pengembangan dari periodisasi sejarah Indonesia yang dibuat oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo (Kartodirdjo, 1987). Secara garis besar, periodisasi sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut digambarkan sebagaimana berikut:
1.      Zaman Permulaan Kebudayaan Indonesia (Sebelum 1M)
2.      Zaman Dicernakannya Unsur-Unsur Kebudayaan Hindu Dan Budha (Abad 1 M - 15 M)
3.      Zaman Dicernakannya Unsur-Unsur Kebudayaan Islam (Abad 12 M).
4.      Pengaruh Kedatangan Portugis (Awal Abad 16 M Hingga Menjelang Akhir Abad 16 M)
5.      Zaman Penjajahan Belanda
5.1 Zaman VOC (1596-1799)
5.2 Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1799-1811)
5.2.1 Gubernur Jenderal Dirk van Hogendorp (1799-1808)
5.2.2 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811)
6. Zaman Pendudukan Inggris (1811-1816)
7. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)
7.1 Serah Terima Komisaris Jenderal Belanda dari pihak Inggris (1816-1818)
7.2 Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826)
7.3 Gubernur Jenderal LPJ Du Bus de Gisignies (1826-1830)
7.4 Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1848)
7.5 Gubernur Jenderal Rochussen (1848-1852)
7.6 Pemerintahan Hindia Belanda Pada Pertengahan Hingga Akhir Abad 19 M
7.7 Periode Politik Etis (1900-1942)
8 Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)


B. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Belanda Pada Pendidikan Indonesia.[4]

Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia.
Keengganan pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat Indonesia ini bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah kolonial menyadari, bahwa “Pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan kolonial yang berlaku”. Kebijakannya dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari pola politik kolonial-nya. Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas dalam kebijakan yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun dalam ordonansi sekolah liar.
a.      Kebijakan dalam bidang pendidikan dan Islam Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.
Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan “Pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam dibenak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagi uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.
Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, sementara berbagai kebijakannya justeru sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh oleh pemerintah kolonial sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja.
Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
b.                            Ordonansi Guru
Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini.
 Pada tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
c. Ordonansi Sekolah Liar
            Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme- Islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah pemuda.
Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah aktifitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang –orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidak mampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah suasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia. [5]




C. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda

Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan praktik pendidikan tertentu yakni:
1)      Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
2)      Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam anatara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
3)      Kontrol sentral yang kuat, pendidikan dikontrol secara sentral yaitu guru-guru dan orangtua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat.
4)      Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.
5)      Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negeri Belanda, prinsip konkordansi ini menurut Kat Angelino menjamin secara mutlak standar pendidikan yang sama dengan di Hindia Belanda dengan di Holland. Prinsip konkordansi mencegah merosotnya taraf pendidikan, seperti dalam hal tertentu banyak sedikit terjadi di India Inggris, di Indo-Cina Perancis dan di Filipina, oleh sebab di sana, prinsip konkordansi dengan negara asal tidak ada.
6)      Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah bagi anak-anak Indonesia seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua untuk anak orang biasa di kota-kota. Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak kaum ningrat dan golongan kaya sekolah khusus untuk anak militer, juga untuk golongan aristokrasi di Sumatera, dan di samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter Jawa. Ciri khas dari sekolah-sekolah ini ialah bahwa masing-masing berdiri sendiri tanpa hunungan organisasi anatara yang satu lagi dan tanpa jalan untuk melanjutkannya. Sekolah untuk pendidikan pegawai hanya dapat dimasuki melalui ELS. Sebaliknya untuk anak-anak Belanda telah ada sejak 1860 suatu sistem pendidikan yang mempunyai organisasi yang lengkap sama dengan yang di negeri Belanda yang memungkinkan mereka memasuki universitas melalui sekolah rendah dan menengah yang saling berhubungan erat.

IV. KESIMPULAN

            Pemerintah kolonial Belanda menjajah negeri kita Indonesia selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun dan selama penjajahan Belanda menerapkan banyak kebijakan terutama dalam pendidikan yang sangat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia diantara kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam, ordonansi guru, dan ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena tidak meminta izin pada pemerintah kolonial.
ü  Tentang Pendidikan Islam[6]
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
(1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Ø     Buchori, Mochtar. 2007 . Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Sampai ke IKIP 1852-1998. Yogyakarta: Insist.
Ø  Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995
Ø  Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997,


[1] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
                [2] http://cepkamal.wordpress.com/2010/02/02/pendidikan-islam-pada-masa-penjajahan

[3] Buchori, Mochtar. 2007 . Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Sampai ke IKIP 1852-1998. Yogyakarta: Insist.

[5] Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995

[6] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997,

Komentar

Postingan Populer