Jadikan Guru Sebagai Aset Berharga di Sekolah

GURU ASET YANG BERHARGA
Oleh : Edi Nasirun

Tinjauan Umum

        Sekolah yang berkualitas tentu memiliki aset yang mendukung hal tersebut. Dan Guru adalah aset berharga dalam lembaga pendidikan yang menjadi penggerak semua unsur untuk menjadi berkualitas, sehingga lembaga pendidikan yang berkualitas tergantung pada gurunya. Walaupun mempunyai IP yang tinggi, hal itu bukan menjamin bahwa ia bisa menjadi guru yang berkualitas. Untuk mencapai kualitas yang terbaik, diperlukan kemauan dan keterbukaan hati untuk selalu belajar (terhadap teguran, kritikan, kondisi anak).
Kualitas guru yang profesional menentukan mutu suatu sekolah . Dan guru yang profesional adalah guru yang tidak pernah berhenti untuk belajar. Ilmu pengetahuan itu berkembang, maka sebagai pendidik, seorang guru juga harus selalu meng-update ilmunya sebagai modal dasarnya dalam mendidik muridnya.  Makanya, pihak sekolah harus melakukan perhatian terhadap guru-guru salah satunya diikutsertakan ke dalam pelatihan baik itu pelatihan umum maupun pelatihan khusus yang terkait dengan pendidikan secara kontinu atau tidak. Ini yang saya jadikan sebagai indikasi bahwa sekolah itu menganggap guru sebagai aset paling berharga, sehingga mereka di fasilitasi untuk terus mengupdate pengetahuannya.
”The only way we can beat the competition is with people” demikian kata Robert J. Eaton, chief executive officer (CEO) Chyster Corporation, produsen mobil terkemuka di Amerika Serikat. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa meskipun kita dewasa ini berada di era teknologi canggih, peran SDM dalam menentukan keberhasilan organisasi atau perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja.


Perubahan Paradigma terhadap Guru !
Saat ini banyak orang memandang guru tidak lebih dari klasifikasi pekerjaan yang tidak begitu “dipandang” . Sehingga wibawa, kehormatan dan kemuliaan seorang guru semakin rendah. Bahkan setelah usaha pemerintah menaikkan kesejahteraan terhadap guru pun masih terlihat pandangan yang demikian.
“Guru tidak pantas berangkat mengajar mengendarai mobil, memiliki rumah yang layak dan karena guru tidak pantas mendapatkan gaji besar.
Bahkan guru yang bertugas disekolah swasta mau tidak mau menerima ‘apa adanya”

Guru sebagai Aset
Untuk menjawab pandangan diatas , mau tidak mau guru harus merubah dirinya sendiri yaitu menjadi guru yang professional, dimana guru professional sebagai penentu mutu lembaga pendidikan dimana ia bertugas. Guru yang berkwalitas adalah guru yang professional, dimana kesejahteraan materi akan mengejarnya bukan dia yang mengejar materi dengan “menjual” tugasnya.

Ketika konflik Datang
Seringkali konflik terjadi antara guru dengan kepala sekolah bila disekolah negeri, dan dengan yayasan bila disekolah swasta. Guru yang professional akan bersikap kritis terhadap kebijakan kepala sekolah dan yayasan yang dianggapnya tidak pantas atau sesuai dengan idealismenya ; misalnya memberikan bocoran jawaban UN pada siswanya ?”, transparansi anggaran, dsb, walaupun terkadang sikap kritisnya tersebut harus dibayar mahal dengan penilaian kepala sekolah (DP3), mutasi  atau bahkan pemecatan bila disekolah swasta.
 Sekolah swasta saat ini menganggap guru tidak lebih dari pegawai sebagaimana perusahaan. Bila ia tidak suka terhdap kebijakan yayasan ‘silahkan keluar” ! Ingat ! lembaga pendidikan adalah proses, dimana guru sebagai bagian sekaligus pelaku dalam proses tersebut. Masuk keluarnya guru yang sering terjadi disekolah, itu sebagai indicator tidak berjalannya manajemen pembinaan oleh kepala sekolah atau yayasan. Terlebih lagi semua guru dianggap sama !

Hal yang Harus dilakukan Kepala Sekolah atau Yayasan     
Ketika melihat adanya potensi konflik dengan guru , hendaknya dia melihat secara jernih dan akal sehat dengan melakukan observasi sebagai berikut :
  • Observasi sebaiknya mengacu pada perilaku (behavior), dan bukan pada sifat pribadi/tabiat (trait).
Observasi perlu difokuskan pada perilaku karena perilaku merupakan sesuatu yang dapat diamati, dapat diukur (diverifikasi) dan juga dapat dilatih (trainable). Sementara, sifat pribadi/tabiat merupakan sesuatu yang bersifat subyektif, sulit diukur dan tidak spesifik.
  • Observasi juga harus didasarkan pada fakta riil dan bukti-bukti perilaku– dan bukan sekedar impresi atau ‘judgement’ (penilaian) semata.
Contoh
……Berdasar pengamatan saya, sdr. A tidak mampu datang menghadiri
pertemuan dengan tepat waktu. Ia selalu terlambat 15 menit dalam tiga
pertemuan terakhir yang kami lakukan………
(kata-kata miring atau italics dalam contoh ini merujuk pada perilaku dan
bersifat spesifik)
Sdr. A tergolong orang yang malas….
(contoh ini kurang tepat, karena merujuk pada tabiat atau sifat pribadi).
Bersambung…..

Komentar

Postingan Populer